Kamis, 12 Oktober 2017

Analgetika



Analgetika atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (perbedaan dengan anestetika umum) (Tjay, 2007).

 Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit (kepala) atau memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi rangsangan nyeri. nyeri merupakan suatu perasaan seubjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni pada 44-45oC (Tjay, 2007).   
Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level) pada mana nyeri dirasakan untuk pertama kalinya. Dengan kata lain, intensitas rangsangan yang terendah saat orang merasakan nyeri. Untuk setiap orang ambang nyerinya adalah konstan (Tjay, 2007).   

Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya ganguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat benyak sinaps via sumsumtulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay, 2007).
 

Proses Terjadinya Nyeri
Reseptor nyeri dalam tubuh adalah ujung-ujung saraf telanjang yang ditemukan hampir pada setiap jaringan tubuh. Impuls nyeri dihantarkan ke Sistem Saraf Pusat (SSP) melalui dua sistem serabut. Sistem pertama terdiri dari serabut Aδ bermielin halus bergaris tengah 2-5 µm, dengan kecepatan hantaran 6-30 m/detik. Sistem kedua terdiri dari serabut C tak bermielin dengan diameter 0.4-1.2 µm, dengan kecepatan hantaran 0,5-2 m/detik. Serabut Aδ berperan dalam menghantarkan "nyeri cepat" dan menghasilkan persepsi nyeri yang jelas, tajam dan terlokalisasi, sedangkan serabut C menghantarkan "nyeri lambat" dan menghasilkan persepsi samar-samar, rasa pegal dan perasaan tidak enak. Pusat nyeri terletak di talamus, kedua jenis serabut nyeri berakhir pada neuron traktus spinotalamus lateral dan impuls nyeri berjalan ke atas melalui traktus ini ke nukleus posteromidal ventral dan posterolateral dari talamus. Dari sini impuls diteruskan ke gyrus post sentral dari korteks otak.

Secara klinis, nyeri dapat dikatakan sebagai nyeri nosiseptif jika proses
nyeri dipengaruhi oleh adanya aktivasi sistem nosiseptif karena adanya kerusakan
jaringan. Menurut Dipiro dkk. (2005) ada 4 tahap terjadinya nyeri, yaitu :

a. Stimulasi
Sensasi nyeri dimulai dari perangsangan reseptor nyeri oleh rangsangan
mekanis, panas, dan kimia. Adanya rangsangan tersebut (noxious stimuli) akan
merangsang pelepasan mediator-mediator nyeri antara lain bradikinin, leukotrien,
serotonin, histamin, prostaglandin, K+,dan substansi P (Dipiro dkk., 2005).
Pelepasan satu atau lebih mediator-mediator tersebut tidak hanya akan
merangsang ujung saraf nyeri kemosensitif tetapi juga sangat menurunkan
ambang untuk stimulasi reseptor nyeri mekanosensitif dan termosensitif (Guyton,
1994). Ambang rasa nyeri adalah intensitas rangsang terkecil yang
akanmenimbulkan sensasi nyeri bila rangsang tersebut dikenakan untuk waktu
yang lama (Guyton, 1994).

b. Transmisi
Adanya mediator-mediator nyeri akan mengubah permeabilitas membran
neuronwwal, menyebabkan influks natrium dan efluks (mengeluarkan) kalium,
sehingga terjadi depolarisasi membran. Impuls elektrik tersebut kemudian
ditransmisikan ke medula spinalis melalui dua macam serabut saraf yaitu serabut
A  bermielin dan serabut C tidak bermielin.
Serabut saraf A  bermielin sering terlibat dalam impuls elektrik yang
disebabkan oleh rangsang mekanis dan panas. Impuls akan ditransmisikan dari
medula spinalis ke bagian  dorsal horn. Serabut A  akan melepaskan
neurotransmiter berupa asam amino seperti glutamat, yang akan mengaktifkan
reseptor α-amino-3-hidroksi-5-metilisoxazo-1,4-asam propionat (AMPA) yang
berada di dalam medula spinalis (Koda-Kimble dan Young, 2001). Transmisi
pada serabut ini kemudian menghasilkan sensasi nyeri yang tajam dan akan
memberi sinyal terhadap adanya bahaya atau luka. Respon dari sinyal ini berupa
reflek seperti menarik tangan atau kaki untuk menghindari luka yang lebih
parah.Serabut C tidak bermielin dan ukurannya lebih kecil daripada A . 
Serabut C  sering berperan dalam proses menghantarkan impuls rangsang mekanis, panas dan kimia. Serabut C juga berakhir di dorsal horn, melepaskan neurotransmiter berupa asam amino glutamat dan aspartat. Selain itu
serabut C ini juga melepaskan peptida lain yaitu substansi P, neurokin A,
somatostatin, galakin dan calcitonin gene-related peptide (CGRP). Transmisi
impuls melalui serabut C akan menghasilkan nyeri lemah, aching, rasa seperti
terbakar dan lokasi nyeri susah ditentukan. Jenis nyeri ini dikenal sebagai nyeri
kedua karena muncul setelah nyeri pertama (Koda-Kimble dan Young, 2001).
Setelah dorsal horn teraktivasi, kemudian impuls diteruskan ke talamus lalu ke
bagian korteks otak dan daerah otak lain untuk diproses.

c. Persepsi Nyeri
Merupakan persepsi terhadap transmisi impuls nyeri. Pada tahap ini
sesorang akan merasakan nyeri atau sakit. Otak mungkin hanya menerjemahkan
beberapa jenis signal nyeri, namun perlu diingat bahwa persepsi nyeri tidak hanya
melibatkan proses nociceptive tetapi juga proses emosional dan psikologis 
(Dipiro dkk., 2005). 

d. Modulasi
Modulasi informasi nyeri terjadi sangat cepat. Neuron dari talamus dan
otak akan melepaskan neurotransmiter inhibitori, seperti norepinefrin, serotonin,
GABA, glisin, endorfin, dan enkefalin, yang akan mengeblok neurotransmiter
eksitatori seperti substansi P (Koda-Kimble dan Young, 2001).   
PE
       PENGGOLONGAN ANALGETIKA
Berdasarkan aksinya, analgetika dibagi dalam 2 golongan besar :
A.    ANALGETIKA OPIOID / ANAGETIKA NARKOTIKA
Analgetika opioid sering disebut analgetika sentral. Memiliki daya penghalang  nyeri yang kuat sekali dengan titik kerja yang terletak di SSP. Umumnya dapat mengurangi kesadaran (mengantuk) dan memberikan perasaan nyaman (euphoria). Analgetik opioid ini merupakan pereda nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat.
Dapat juga menyebabkan toleransi, kebiasaan (habituasi), ketergantungan fisik dan psikis (adiksi) dan gejala-gejala abstinensia bila diputuskan pengobatan (gejala putus obat). Karena bahaya dan gejala-gejala di atas maka pemakaian obat-obat ini diawasi dengan seksama oleh DEPKES  dan dimasukkan kedalam Undang-undang  Obat Bius (Narkotika).
Analgetika narkotik, kini disebut juga opioida (= mirip opiate) adalah zat yang bekerja terhadap reseptor opioid khas di susunan saraf pusat, hingga persepsi nyeri dan respon emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi). Minimal ada 4 jenis reseptor, pengikatan padanya menimbulkan analgesia. Tubuh dapat mensintesa zat-zat opioidnya sendiri, nyakni zat –zat endorphin yang juga bekerja melalui reseptor opioid tersebut.
Tubuh sebenarnya memiliki sistem penghambat nyeri tubuh sendiri (endogen), terutama dalam batang otak dan sumsum tulang belakang yang mempersulit penerusan impuls nyeri. Dengan sistem ini dapat dimengerti mengapa nyeri dalam situasi tertekan, misalnya luka pada kecelakaan lalu lintas mula-mula tidak terasa dan baru disadari beberapa saat kemudian. Senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh sistem endogen ini disebut opioid endogen. Beberapa senyawa yang termasuk dalam penghambat nyeri endogen antara lain: enkefalin, endorfin, dan dinorfin.
Endorphin (morfin endogen) adalah kelompok polipeptidaendogen yang terdapat di CCS dan dapat menimbulkan efek yang menyerupai efek morfin. Zat-zat ini dapat dibedakan antara β-endorfin, dynorfin dan enkefalin (yun. Enkephalos = otak), yang menduduki reseptor-reseptor berlainan.secara kimiawi za-zat ini berkaitan dengan kortikotrofin (ACTH), menstimulasi pelepasanya juga dari somatotropin dan prolaktin. Sebaiknya pelepasan LH dan FSH dihambat oleh zat ini. β-endorfin pada hewan berkhasiat menahan pernapasan, menurunkan suhu tubuh dan menimbulkan ketagihan. Zat ini berdaya analgetis kuat, dalam arti tidak merubah persepsi nyeri, melainkan memperbaiki ‘’penerimaannya”. Rangsangan listrik dati bagian- bagian tertentu otak mengakibatkan peningkatan kadar endorphin dalam CCS. Mungkin hal ini menjelaskan efek analgesia yang timbul (selama elektrostimulasi) pada akupunktur, atau pada stress (misalnya pada cedera hebat). Peristiwa efek placebo juga dihubungkan dengan endomorfin.
Opioid endogen ini berhubungan dengan beberapa fungsi penting tubuh seperti fluktuasi hormonal, produksi analgesia, termoregulasi, mediasi stress dan kegelisahan, dan pengembangan toleransi dan ketergantungan opioid. Opioid endogen mengatur homeostatis, mengaplifikasi sinyal dari permukaan tubuh ke otak, dan bertindak juga sebagai neuromodulator dari respon tubuh terhadap rangsang eksternal.
Baik opioid endogen dan analgesik opioid bekerja pada reseptor opioid, berbeda dengan analgesik nonopioid yang target aksinya pada enzim.
Ada beberapa jenis Reseptor opioid  yang telah diketahui dan diteliti, yaitu reseptor opioid μ, κ, σ, δ, ε.  (dan yang terbaru ditemukan adalah N/OFQ receptor, initially called the opioid-receptor-like 1 (ORL-1) receptor or “orphan” opioid receptor dan e-receptor, namum belum jelas fungsinya).
Reseptor μ memediasi efek analgesik dan euforia dari opioid, dan ketergantungan fisik dari opioid. Sedangkan reseptor μ 2 memediasi efek depresan pernafasan.
Reseptor δ yang sekurangnya memiliki 2 subtipe berperan dalam memediasi efek analgesik dan berhubungan dengan toleransi terhadap μ  opioid. reseptor κ telah diketahui dan berperan dalam efek analgesik, miosis, sedatif, dan diuresis. Reseptor opioid ini tersebar dalam otak dan sumsum tulang belakang. Reseptor δ dan reseptor κ menunjukan selektifitas untuk ekekfalin dan dinorfin, sedangkan reseptor  μ selektif untuk opioid analgesic.

Mekanisme umumnya  :

Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel, selain itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ ke dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah terjadinya pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin, dan peptida penghantar nyeri, seperti contohnya substansi P, dan mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat.
Endorfin bekerja dengan jalan menduduki reseptor – reseptor nyeri di susunan saraf pusat, hingga perasaan nyeri dapat diblokir. Khasiat analgesic opioida berdasarkan kemampuannya untuk menduduki sisa-sisa reseptor nyeri yang belum di tempati endokfin. Tetapi bila analgetika tersebut digunakan terus menerus, pembentukan reseptor-reseptor baru di stimulasi dan pdoduksi endorphin di ujung saraf pusat dirintangi. Akibatnya terjadilah kebiasaan dan ketagihan.
 
Efek-efek yang ditimbulkan dari perangsangan reseptor opioid diantaranya:
·         Analgesik
·         Medullary effect
·         Miosis
·         Immune function and Histamine
·         Antitussive effect
·         Hypothalamic effect
·         GI effect

Efek samping umum
                                Pada dosis biasa : gangguan lambung usus (mual, muntah, obstipasi), efek saraf pusat (kegelisahan, rasa kantuk, euphoria), dan lain-lain.
   Pada dosis tinggi : efek yang lebih berbahaya seperti sulit bernafas, tekanan darah turun, sirkulasi darah terganggu, koma, dan sampai pernafasan terhenti,  Supresi susunan saraf pusat, misalnya sedasi, menekan pernafasan dan batuk, miosis, hypothermia, dan perubahan suasana jiwa (mood). Akibat stimulasi lagsung dari CTZ (Chemo Trigger Zone) timbul mual dam muntah. Pada dosis lebih tinggi mengakibatkan menurunnya aktifitas mental dan motoris.
·         Saluran cerna : motilitas berkurang (obstipasi), kontraksi sfingter kandung empedu  (kolik batu empedu).
·         Saluran urogenital : retensi urin (karena naik nonus dari tonus dan sfingter kandung kemih), motilitas uterus berkurang (waktu persalinan diperpanjang).
·         Saluran nafas: bronchkontriksi, penafasan menjadi lebih dangkal dan frekuensi turun.
·         System sirkulasi : vasodilatasi, hypertensi dan bradycardia.
·         Histamine-liberator: urticaria dan gatal-gatal, karena menstimulasi pelepasan histamine.
·         Kebiasaan dengan resiko adiksi pada penggunaan lama. Bila terapi dihentikan dapat terjadi gejala abstinensia.



    PENGGOLONGAN
Atas dasar cara kerjanya, obat – obat ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yakni :
1.    Agonis opiate, yang dapat dibagi dalam :
Alkaloida candu : morfin, kodein, heroin, nicomorfin.
Zat-zat sintesis : metadon dan derivate-derivatnya (dekstromoramida, propoksifen, bezitramida), petidin dan detivatnya (fentanil, sufentanil) dan tramadol.
Cara kerja obat-obat ini sama dengan morfin hanya berlainan dengan potensi dan lama kerjanya. Efek samping dan resiko akan kebiasaan dengan ketergantungan fisik.
2.    Antagonis opiate : nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin, dan nalbufin. Bila digunakan sebagai analgetika, obat ini dapat menduduki salah satu reseptor.
3.    Kombinasi, zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opioid, tetapi tidak mengaktifasi kerjanya dengan sempurna.
Undang – undang narkotika. Dikebanyakan Negara,beberapa obat dari kelompok obat ini, seperti propoksifen, pentazosin, dan tramadol, tidak termasuk dalam undang – undang narkotika, karena bahaya kebiasaan dan adiksinya ringan sekali. Namun, penggunaannya dalam jangka waktu lama tidak dianjurkan. Pada tahun 1978, propeksifen di negeri Belanda dimasukkan dalam “opiumwet”.
Macam-macam obat Analgesik Opioid :
a. Morfin (F.I) : MS Contin, kapanol.
Candu atau opium adalah getah yang dikeringkan dan diperolah dari tumbuhan papaver somniferum (Lat = menyebabkan tidur) morfin mengandung 2 kelompok alkaloida yang secara kimia sangan berlainan. Kelompok fenantren meliputi morfin, kodein dan tebain. Kelompok kedua adalah isokinolin dengan struktur kimiawi dan khasian amat berlainan (antara lain non-narkotis), yakni papaverin, nosapin ( = narkotin), dan narsein. Zat ini berkhasiat analgetis sangan kuat, lagi pula memiliki jenin kerja sentral lainnya , antara lain sedative dan hipnotis, menimbukakn euphoria, menekan pernafasan, dan menghilangkan efek batuk, yang semuanya berdasarkan supresi susunan saraf pusat (SSP).
Morfin juga menimbulakn efek stimulasi SSP, misalnya miosis (peciutan pupil mata), mual, muntah-muntah, eksitasi, konvulsi. Efek perifernya yang penting adalah obstipasi, retensi kemih, dan vasodilatasi pembuluh kulit.
            Penggunaannya khusus pada nyeri kuat kronis dan akut, seperti pasca-bedah dan setekah infark jantung, juga pada fase terminal dari kanker. Banyak digunakan sebagai tablet retard untuk memperpanjang kerjanya (MS Contin, kapanol).
            Resorpsinya di usus baik, tetapi BA nya hanya ca 25 % akibat FPE besar, mulai kerjanya setelah 1-2 jam dan bertahan samai 7 jam. Resorpsi dari suppositoria umumnya sedikin lebih baik, secara s.c./i/m baik sekali. PP nya 35% dalam hati zat ini diubah menjadi 70% dalam bentuk glukuronida, dan hanya sebagian kecil ( 3%) dari jumlah ini terdiri dari morfin-6-glukuronida, dengan kerja analgetis lebih kuat. Ekskresinya melalui kemih, empedu dengan siklus enterohepatis, dan tinja.
ANTIDOTA. Pada intoksikasi digunakan antagonis morfin sebagai antidotum, yakni nalokson
b.      Fentanil : fetanyl, durogesic, *Thalamonal.
Derivate piveridin ini (1963) merupakan turunan dari petidin (dolnatin) yang jarang digunakan lagi karena efek samping dan sifat adiksinya. Efek analgenis agonis opiate ini 80x lebih kuat dari pada morfin. Mulai kerjanya cepat, yaitu 2-3 menit (i.v.), tetapi singkat hanya ca 30 menit.
Indikasi : Medikasi praoperasi yang digunakan dalan anastesi dan infack jangtung.
Efek sampingnya  mirip morfin, termasuk defresi pernafasan, bronchospasme, dan kekakuan otot (thorax). Zat ini jarang menimbulkan penghambatan sirkulasi, yakni penurunan cardiack output dan bradycardia.
Dosis : pada infark i.v. 0,05 mg + 2,5 mg droperidl (thalamonal), bila perlu diulang setelah setengah jam. Plester (durogenic) melepaskan secara konstan morfin selama 72 jam.
            Sufentanil (sufentalforte) adalah derivat (1981) dengan daya analgetis ca 10x lebih kuat. Sifat dan efek sampingnya sama dengan fentanil. Zat ini terutama digunakan pada waktu anestesi dan pasca bedah, juga pada waktu his dan persalinan (dikombinasi dengan suatu anestetikum).
 c.   kodein (F.I.) : Metilmorfin, *Codipront
            Alkaloida candu ini memiliki khasiat yang sama dengan induknya, tetapi lebih lemah misalnya efek analgetisnya 6-7 x kurang kuat. Efek samping dan resiko adiksinya lebih ringan, sehingga sering digunakan sebagai obat batuk dan obat antinyeri, yang diperkuat melalui kombinasi denagn parasetamol/asetasal. Obstipasi dan mual dapat terjadi teruatama pada dosis lebih tinggi (diatas 3 dd 20 mg). resorpsi oral dan rectal baik; didalam hati obat ini diubah jadi narkodein dan morfin (10%). Ekskresinyalewat kemih debagai glukuronoda dan 10% secara utuh. Plasma-t1 / 2-nya 3-4 jam.
B.    ANALGETIKA NON NARKOTIKA
Obat-obat ini dinamakan analgetika perifer karena tidak mempengaruhi susunan saraf sentral, tidak menurunkan kesadaran dan tidak mengakibatkan ketagihan.
Penggunaan Obat Analgetik Non-Narkotik atau Obat Analgesik Perifer ini cenderung mampu menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgetik Non-Narkotik / Obat Analgesik Perifer ini juga tidak mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna (berbeda halnya dengan penggunanaan Obat Analgetika jenis Analgetik Narkotik).
Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX  pada daerah yang terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri . Mekanismenya tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors.
Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah gangguan lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis besar, oleh karena itu penggunaan analgetika secara kontinu tidak dianjurkan.
·          Kerusakan lambung usus (golongan salisilat dan p-aminofenol)
·          Kerusakan darah seperti leukopenia, agranulositosis (golongan salisilat, p-aminofenol, pirazolon dan antranilat)
·          Kerusakan hati dan ginjal, khususnya derivate p-aminofenol
·         Interaksi, kebanyakan analgetik memperkuat efek koagulasi antikoagulansia, kecuali parasetamol dan glafenin. Kedua obat ini pada dosis biasa dapat dikombinasi dengan aman untuk waktu maksimal 2 minggu.






 Analgetika non narkotika memiliki daya kerja :

Khasiat antipiretik : menurunkan suhu badan pada saat demam (analgetika).
Khasiat berdasarkan rangsangan terhadap pusat pengatur kalor di hipotalamus, mengakibatkan vasodilatasi perifer di kulit dengan berbahayanya pengeluaran kalor disertai keluarnya banyak keringat . Misalnya: Parasetamol, Aminofenazon, dan lain-lain.
Khasiat anti flogistik : anti radang atau anti inflamasi.
·    Anti radang sama kuat dengan analgetik : digunakan sebagai anti nyeri atau rematik.
Contoh : Asetosal, Amidopirin, Ibuprofen, dan Asam Mefenamat.
·    Anti radangnya lebih kuat : Fenilbutazon, Nifluminat, Metiazinan, dan lain-lain.
·    Bekerja analgetik jika  serentak terdapat peradangan , antara lain Indometazin dan Benzidamin.

Macam-macam obat Analgetika Non-Narkotika :
      a.       Ibuprofen
Ibuprofen merupakan devirat asam propionat yang diperkenalkan banyak negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama dengan aspirin. Ibu hamil dan menyusui tidak di anjurkan meminum obat ini.
                                                                    
b.      Paracetamol : asetaminofen, panadol, Tylenol, tempra, *nipe
Derivate asetanilida ini adalah metabolit dari fenasetin, yang dahulu banyak digunakan sebagai analgetikum,  tetapi pada tahun 1978 telah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya (nefrotoksisitas dan karsinogen). Khasiatnya analgetis dan antipiretis, tetapi tidak antiradang. Dewasa ini pada umumnya dianggap sebagai zat antinyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri). Efek analgetisnya diperkuat oleh kofein dengan kira-kira 50% dan kodein.
Resorpsinya dari usus cepat dan praktis, secara rectal lebih lambat. PP-nya ca 25%, plasma-t1/2-nya 1-4 jam. Antara kadar plasma dan efeknya tidak ada hubungan. Dalam hati zat ini diuraikan menjadi metabolit-metabolit toksis yang dieksresi dengan kemih d\sebagai konyugat-glukuroni-da dan sufat.
Efek samping tak jarang terjadi, antara lain reaksi hypersensitivitas dan kelainan darah. Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis diatas 6 g mengakibatkan nekrosis hati yang tidak reversible. Hepatoksisitas ini diakibatkan oleh metabolit-metabolitnya, yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh glutathione (suatu tripeptida dengan –SH). Pada dosis diatas 10 g, persediaan peptide tersebut habis dan metabolit-metabolit  mengikat pada protein dengan –SH di sel-sel hati dan terjadilah kerusakan irreversible. Dosis dari 20 g sudah berefek fatal, overdose bias menimbulkan antara lain : mual, muntah dan anorexia.penanggulangannya dengan cuci lambung, juga peru diberikan zat- zat penawar (asam amino N-asetilsistein atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi.
Interaksi. Pada dosis tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia dan pada dosis biasa tidak interaktif. Masa paruh kloampenikol dapat sangat diperpanjang. Kombinasi dengan oabt AIDS zidovudin meningkatkan resiko akan neutropenia.
Dosis : untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5 -1 . maksimal 4g/hari, pada penggunaan kronis maksimal 2,5 g/hari. Anak –anak : 4-6 dd 10 mh/hari yakni rata-rata usia 3-12 bulan 60 mg. 1-4 tahun 120-180 mg, 4-6 tahun 180 mg, 7-12 tahun 240-360 mg, 4-6 kali sehari. Rectal 20 mh / kg tiap kali, dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak usia 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg, 1-4 tahun 2-3 dd 240 mg, 2-6 tahun 4 dd 240 mg, dan 7-12 tahun 2-3 dd 0,5 g.


      c.       Asam Mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik. Asam mefenamat sangat kuat terikat pada protein plasma, sehingga interaksi dengan obat antikoagulan harus diperhatikan. Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung.                    
      d.      Asam asetil salisilat
            Dari semua senyawa salisilat, asetosal  memiliki khasiat analgetik, antipiretik, dan anti flogistik yang terkuat. Maka banyak digunakan dalam segala macam preparat untuk melawan demam, influenza, sakit kepala, oto, sendi, gigi dan lainnya, namun untuk nyeri di dalam (organ-organ) kurang efektif. Untuk rematik, penghambat prostaglandin ini sering dianggap sebagai obat pilihan pertama, meskipun banyak obat rematik baru telah dikeluarkan.
            Efek samping yang sering terjadi adalah iritasi mukosa lambung dengan terjadinya borok lambung dan kehilangan darah okult (tersembunyi). Efek-efek ini lumrah sekali pada zat-zat yang berkhasiat anti radang dan dapat dikurangi dengan penggunaan bersamaan dengan antasida atau dengan menggunakan garam kalsium (Ascal) yang mudah larut atau pula sebagai tablet enteric coated yang baru melarut (pecah) dalam usus.
Selain itu Asetosal memperbanyak keluarnya keringat dan pada dosis lebih tinggi dari normal dapat mengakibatkan tinnitus (suara bergema di telinga), gangguan pada pernafasan (hiperventilasi), juga mengigau.
·         Natrium salisilat, berkhasiat lebih lemah dari asetosal, maka dosisnya harus lebih tinggi, efek sampingnya  lebih kurang sama dengan  Asetosol, terkecuali tidak mengurangi tergumpalnya pelat-pelat darah namun hanya pada dosis tinggi (rematik) dapat memperpanjang waktu protrombin.
·         Salisilamida, adalah turunan salisilat, yang juga lebih lemah dari asetosal khasiat analgetiknya, lagi pula efeknya tidak dapat di percaya. Lebih sering mengganggu pencernaan, pendarahan okult lebih ringan. Di dinding usus mengalami  FPE (First Pass Effect = pengurain) yang besar, maka dosisnya harus tinggi. Dalam tubuh tidak dirombak menjadi salisilat.
      e.       Aminofenazon (Aminopirin)
Derivat  pirazolon ini memiliki khasiat analgetik, antipiretik dan antiflogistik yang kuat sekali dan digunakan pada nyeri hebat (dengan radang) yang tidak dapat di kendalikan oleh asetosal  atau parasetamol. Mula kerjanya lebih cepat dari pada salisilat. Hampir tidak digunakan sebagai obat rematik.


                                                                 referensi

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi,IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta       
Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja, 2007, Obat - obat Penting, PT Gramedia, Jakarta.
Dipiro, J.T., et al. 2005. Pharmacotherapy Handbook. Sixth edition. The Mc. Graw Hill Company. USA. Page :         1891-1939
Guyton, A.C.,dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC


pertanyaan :

1. apakah wanita haid aman rutin menggunakan analgetik untuk meredakan rasa nyeri, khususnya ibu profen ?
2. apa saja kriteria atau hal yang perlu diperhatikan oleh wanita hamil jika harus menggunakan analgetik baik non nakotik maupun narkotik ?
3.apa yang menyebabkan analgetik golongan narkotik tidak bisa digunakan dalam jangka panjang jika tidak dianjurkan atau diresepkan oleh dokter ?
4. jelaskan apakah ada interaksi dengan obat lain yg memiliki efek terapi berbeda jika dikonsumsi bersamaan dengan obat analgetik ?
5. dari berbagai jenis dan contoh dari obat analgetik narkotik yg manakah yg memiliki efek terapi paling kuat serta jelaskan efek sampingnya ?
6. Bagaimana mekanisme terjadinya rasa nyeri dari tempat stimulus rangsang sampai saraf pusat?
7.  jelakan secara luas mengenai coctail analgetik (PCA)!


19 komentar:

  1. Bagaimana kontraindikasi obat necomorfin?

    BalasHapus
    Balasan
    1. beberapa kontraindikasinya ialah :
      1. depresi pernafasan parah (tanpa peralatan resusitasi)
      2. asma akut atau berat diketahui atau dicurigai ileus paralitik.
      3. Injeksi intratekal dan epidural tidak boleh digunakan pada kasus pemberian yang kontraindikasi dengan rute ini, seperti infeksi pada tempat penyuntikan, perdarahan diatesis yg tidak terkontrol, penggunaan antikoagulan atau penggunaan kortikosteroid injeksi dalam 2 minggu.

      Hapus
  2. Apa sajaa yg termasuk mediator nyeri?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih,
      Mediator nyeri antara lain: histamin, serotonin, plasmakinin-plasmakinin, prostaglandin-prostaglandin, ion-ion kalium.

      Hapus
  3. Balasan
    1. Obat Antiflogistik (phlogos = api, nyala) adalah obat yang dapat mencegah dan melawan terjadinya peradangan. Disebut juga obat anti inflamasi. Efek radang disebabkan karena terjadi oedeem.
      Contoh obat anti inflamasi adalah : Prednison, Prednisolon, Hydrocortison Acetas, Triamcinolon, Dexamethason, Betamethason, Ketoprophenum, Prolase.

      Hapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  5. saya akan mencoba menjawab pertanyaan no. 3 analgetik narkotik dengan Penggunaan berulang dan tidak sesuai aturan dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan.
    Toleransi ialah adanya penurunan efek, sehingga untuk mendapatkan efek seperti semula perlu peningkatan dosis.

    BalasHapus
  6. haii mbak saya akan mrncoba menjawab pertanyaan nomor 3, menurut saya jika obat narkotik digunakan dalam jangka panjang maka Dapat juga menyebabkan toleransi, kebiasaan (habituasi), ketergantungan fisik dan psikis (adiksi) dan gejala-gejala abstinensia bila diputuskan pengobatan (gejala putus obat)

    BalasHapus
  7. pertanyaan no6
    Mekanisme terjadinya nyeri adalah sebagai berikut rangsangan(mekanik, termal atau Kimia) diterima oleh reseptor nyeri yang ada di hampir setiap jaringan tubuh, Rangsangan ini di ubah kedalam bentuk impuls yang di hantarkan ke pusat nyeri di korteks otak. Setelah di proses dipusat nyeri, impuls di kembalikan ke perifer dalam bentuk persepsi nyeri (rasa nyeri yang kita alami).

    BalasHapus
  8. penggunaan obat antinyeri saat sedang haid sebenarnya tidak dianjurkan bila mengalami nyeri haid tidak tertahankan baru dianjurkan dan penggunaannya tidak melebihi 3 hari, karena efek samping yang ditimbulkan akan berefek besar bagi tubuh

    BalasHapus
  9. Baiklah fio saya akan coba menjawab pertanyaan no 7.PCA merupakan analgetik yang terdiri atas ketorolac dan pethidin dimasukkan dalam larutan KaEn 3B. Dimana merupakan kombinasi analgetik untuk daerah sentral( penthidin / fenthanyl ) dan perifer( ketorolac)dan pemberiannya secara searing pump.

    BalasHapus
  10. menurut saya wanita yang sedang menstruasi bisa menggunakan obat golongan analgetik karena obat tersebut tidak mengganggu proses mentruasi

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya setuju dengan hesty dan golongan analgetik yang biasa diberikan adalah analgetik periver/non narkotik

      Hapus
    2. "Dismenore merupakan kram menstruasi berdenyut atau kram nyeri di perut bagian bawah. Kondisi ini terjadi secara normal, karena selama menstruasi rahim berkontraksi untuk membantu meluruhkan lapisan yang akan keluar sebagai darah haid.

      Zat yang menyerupai hormon (prostaglandin) terlibat dalam rasa sakit dan peradangan yang memicu kontraksi otot rahim. Tingginya tingkat prostaglandin berhubungan dengan kram menstruasi yang lebih berat.
      Asam mefenamat merupakan kelompok anti inflamasi non steroid, bekerja dengan menghambat sintesa prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat enzim siklooksigenase, sehingga mempunyai efek analgesik, anti inflamasi dan antipiretik. Cara Kerja Asam mefenamat adalah seperti OAINS (Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid atau NSAID) lain yaitu menghambat sintesa prostaglandin dengan menghambat kerja enzim cyclooxygenase (COX-1 & COX-2)"

      Hapus
  11. contoh obat yang dapat digunakan seperti ibuprofen.
    ungsi ibuprofen pada obat menstruasi yang utama memang mengurangi rasa sakit pada tubuh. Selain itu, ibuprofen yang tergolong dalam jenis NSAID (non steroidal anti Inflammatory drugs) ini, bekerja dengan cara yang berbeda dengan obat analgesik lainnya, seperti paracetamol.

    BalasHapus
  12. Ketika kita merasakan sakit, nyeri, atau mengalami peradangan, maka tubuh akan secara alami menghasilkan zat kimiawi yang disebut dengan prostaglandin. Sementara, ibuprofen mempunyai kemampuan untuk menghentikan prostaglandin dihasilkan oleh tubuh, sehingga rasa nyeri pada saat menstruasi pun hilang.

    BalasHapus
  13. sebaiknya untuk ibu hamil untuk meghindari penggunaan obat namun jika mmang tidak dapat dihindari penggunaannya sebaiknya digunakan analgeti non narkotik dengan ES paling rendah atau aman terhadap ibu hamil sperti paracetamol

    BalasHapus