Analgetika
atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (perbedaan dengan anestetika umum) (Tjay,
2007).
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional
yang tidak nyaman, berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. keadaan
psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit
(kepala) atau memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi
rangsangan nyeri. nyeri merupakan suatu perasaan seubjektif pribadi dan ambang
toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. batas nyeri untuk suhu adalah
konstan, yakni pada 44-45oC (Tjay, 2007).
Ambang
nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level) pada mana nyeri dirasakan untuk
pertama kalinya. Dengan kata lain, intensitas rangsangan yang terendah saat
orang merasakan nyeri. Untuk setiap orang ambang nyerinya adalah konstan (Tjay,
2007).
Rasa
nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi
melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya
ganguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang otot.
Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat
menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan
zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain dapat
mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri
di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini
terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini
rangsangan di salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron
dengan amat benyak sinaps via sumsumtulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak
tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar,
dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay, 2007).
Proses
Terjadinya Nyeri
Reseptor nyeri dalam tubuh adalah ujung-ujung saraf telanjang yang
ditemukan hampir pada setiap jaringan tubuh. Impuls nyeri dihantarkan ke Sistem
Saraf Pusat (SSP) melalui dua sistem serabut. Sistem pertama terdiri dari
serabut Aδ bermielin halus bergaris tengah 2-5 µm, dengan kecepatan hantaran
6-30 m/detik. Sistem kedua terdiri dari serabut C tak bermielin dengan diameter
0.4-1.2 µm, dengan kecepatan hantaran 0,5-2 m/detik. Serabut Aδ berperan dalam
menghantarkan "nyeri cepat" dan menghasilkan persepsi nyeri yang
jelas, tajam dan terlokalisasi, sedangkan serabut C menghantarkan "nyeri
lambat" dan menghasilkan persepsi samar-samar, rasa pegal dan perasaan
tidak enak. Pusat nyeri terletak di talamus, kedua jenis serabut nyeri berakhir
pada neuron traktus spinotalamus lateral dan impuls nyeri berjalan ke atas
melalui traktus ini ke nukleus posteromidal ventral dan posterolateral dari
talamus. Dari sini impuls diteruskan ke gyrus post sentral dari korteks otak.
Secara klinis, nyeri dapat dikatakan
sebagai nyeri nosiseptif jika proses
nyeri dipengaruhi oleh adanya
aktivasi sistem nosiseptif karena adanya kerusakan
jaringan. Menurut Dipiro dkk. (2005)
ada 4 tahap terjadinya nyeri, yaitu :
a. Stimulasi
Sensasi nyeri dimulai dari
perangsangan reseptor nyeri oleh rangsangan
mekanis, panas, dan kimia. Adanya
rangsangan tersebut (noxious stimuli) akan
merangsang pelepasan
mediator-mediator nyeri antara lain bradikinin, leukotrien,
serotonin, histamin, prostaglandin,
K+,dan substansi P (Dipiro dkk., 2005).
Pelepasan satu atau lebih
mediator-mediator tersebut tidak hanya akan
merangsang ujung saraf nyeri
kemosensitif tetapi juga sangat menurunkan
ambang untuk stimulasi reseptor
nyeri mekanosensitif dan termosensitif (Guyton,
1994). Ambang rasa nyeri adalah
intensitas rangsang terkecil yang
akanmenimbulkan sensasi nyeri bila
rangsang tersebut dikenakan untuk waktu
yang lama (Guyton, 1994).
b. Transmisi
Adanya mediator-mediator nyeri akan
mengubah permeabilitas membran
neuronwwal, menyebabkan influks
natrium dan efluks (mengeluarkan) kalium,
sehingga terjadi depolarisasi
membran. Impuls elektrik tersebut kemudian
ditransmisikan ke medula spinalis
melalui dua macam serabut saraf yaitu serabut
A
bermielin dan serabut C tidak bermielin.
Serabut saraf A bermielin sering terlibat dalam impuls
elektrik yang
disebabkan oleh rangsang mekanis dan
panas. Impuls akan ditransmisikan dari
medula spinalis ke bagian dorsal horn. Serabut A akan melepaskan
neurotransmiter berupa asam amino
seperti glutamat, yang akan mengaktifkan
reseptor
α-amino-3-hidroksi-5-metilisoxazo-1,4-asam propionat (AMPA) yang
berada di dalam medula spinalis
(Koda-Kimble dan Young, 2001). Transmisi
pada serabut ini kemudian menghasilkan
sensasi nyeri yang tajam dan akan
memberi sinyal terhadap adanya
bahaya atau luka. Respon dari sinyal ini berupa
reflek seperti menarik tangan atau
kaki untuk menghindari luka yang lebih
parah.Serabut C tidak bermielin dan
ukurannya lebih kecil daripada A .
Serabut C sering berperan dalam proses menghantarkan
impuls rangsang mekanis, panas dan kimia. Serabut C juga berakhir di dorsal
horn, melepaskan neurotransmiter berupa asam amino glutamat dan aspartat.
Selain itu
serabut C ini juga melepaskan
peptida lain yaitu substansi P, neurokin A,
somatostatin, galakin dan calcitonin
gene-related peptide (CGRP). Transmisi
impuls melalui serabut C akan
menghasilkan nyeri lemah, aching, rasa seperti
terbakar dan lokasi nyeri susah
ditentukan. Jenis nyeri ini dikenal sebagai nyeri
kedua karena muncul setelah nyeri
pertama (Koda-Kimble dan Young, 2001).
Setelah dorsal horn teraktivasi,
kemudian impuls diteruskan ke talamus lalu ke
bagian korteks otak dan daerah otak
lain untuk diproses.
c. Persepsi Nyeri
Merupakan persepsi terhadap
transmisi impuls nyeri. Pada tahap ini
sesorang akan merasakan nyeri atau
sakit. Otak mungkin hanya menerjemahkan
beberapa jenis signal nyeri, namun
perlu diingat bahwa persepsi nyeri tidak hanya
melibatkan proses nociceptive tetapi
juga proses emosional dan psikologis
(Dipiro dkk., 2005).
d. Modulasi
Modulasi informasi nyeri terjadi
sangat cepat. Neuron dari talamus dan
otak akan melepaskan neurotransmiter
inhibitori, seperti norepinefrin, serotonin,
GABA, glisin, endorfin, dan
enkefalin, yang akan mengeblok neurotransmiter
eksitatori seperti substansi P
(Koda-Kimble dan Young, 2001).
PE
PENGGOLONGAN
ANALGETIKA
Berdasarkan aksinya, analgetika
dibagi dalam 2 golongan besar :
A. ANALGETIKA OPIOID / ANAGETIKA
NARKOTIKA
Analgetika
opioid sering disebut analgetika sentral. Memiliki daya penghalang nyeri
yang kuat sekali dengan titik kerja yang terletak di SSP. Umumnya dapat
mengurangi kesadaran (mengantuk) dan memberikan perasaan nyaman (euphoria).
Analgetik opioid ini merupakan pereda nyeri yang paling kuat dan sangat efektif
untuk mengatasi nyeri yang hebat.
Dapat juga
menyebabkan toleransi, kebiasaan (habituasi), ketergantungan fisik dan psikis (adiksi)
dan gejala-gejala abstinensia bila diputuskan pengobatan (gejala putus obat).
Karena bahaya dan gejala-gejala di atas maka pemakaian obat-obat ini diawasi
dengan seksama oleh DEPKES dan dimasukkan kedalam Undang-undang
Obat Bius (Narkotika).
Analgetika
narkotik, kini disebut juga opioida (= mirip opiate) adalah zat yang bekerja
terhadap reseptor opioid khas di susunan saraf pusat, hingga persepsi nyeri dan
respon emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi). Minimal ada 4 jenis
reseptor, pengikatan padanya menimbulkan analgesia. Tubuh dapat mensintesa
zat-zat opioidnya sendiri, nyakni zat –zat endorphin yang juga bekerja melalui
reseptor opioid tersebut.
Tubuh
sebenarnya memiliki sistem penghambat nyeri tubuh sendiri (endogen), terutama
dalam batang otak dan sumsum tulang belakang yang mempersulit penerusan impuls
nyeri. Dengan sistem ini dapat
dimengerti mengapa nyeri dalam situasi tertekan, misalnya luka pada kecelakaan
lalu lintas mula-mula tidak terasa dan baru disadari beberapa saat kemudian. Senyawa-senyawa
yang dikeluarkan oleh sistem endogen ini disebut opioid endogen. Beberapa
senyawa yang termasuk dalam penghambat nyeri endogen antara lain: enkefalin,
endorfin, dan dinorfin.
Endorphin
(morfin endogen) adalah kelompok polipeptidaendogen yang terdapat di CCS dan
dapat menimbulkan efek yang menyerupai efek morfin. Zat-zat ini dapat dibedakan
antara β-endorfin, dynorfin dan enkefalin (yun. Enkephalos = otak), yang
menduduki reseptor-reseptor berlainan.secara kimiawi za-zat ini berkaitan
dengan kortikotrofin (ACTH), menstimulasi pelepasanya juga dari somatotropin
dan prolaktin. Sebaiknya pelepasan LH dan FSH dihambat oleh zat ini. β-endorfin
pada hewan berkhasiat menahan pernapasan, menurunkan suhu tubuh dan menimbulkan
ketagihan. Zat ini berdaya analgetis kuat, dalam arti tidak merubah persepsi
nyeri, melainkan memperbaiki ‘’penerimaannya”. Rangsangan listrik dati bagian-
bagian tertentu otak mengakibatkan peningkatan kadar endorphin dalam CCS.
Mungkin hal ini menjelaskan efek analgesia yang timbul (selama
elektrostimulasi) pada akupunktur, atau pada stress (misalnya pada cedera
hebat). Peristiwa efek placebo juga dihubungkan dengan endomorfin.
Opioid endogen ini berhubungan dengan beberapa fungsi penting tubuh seperti
fluktuasi hormonal, produksi analgesia, termoregulasi, mediasi stress dan
kegelisahan, dan pengembangan toleransi dan ketergantungan opioid. Opioid
endogen mengatur homeostatis, mengaplifikasi sinyal dari permukaan tubuh ke
otak, dan bertindak juga sebagai neuromodulator dari respon tubuh terhadap
rangsang eksternal.
Baik opioid endogen dan analgesik opioid bekerja pada reseptor opioid,
berbeda dengan analgesik nonopioid yang target aksinya pada enzim.
Ada beberapa jenis Reseptor opioid yang telah diketahui dan diteliti,
yaitu reseptor opioid μ, κ, σ, δ, ε. (dan yang terbaru ditemukan adalah N/OFQ receptor, initially called
the opioid-receptor-like 1 (ORL-1) receptor or “orphan” opioid receptor dan
e-receptor, namum belum jelas fungsinya).
Reseptor μ memediasi efek analgesik dan euforia dari opioid,
dan ketergantungan fisik dari opioid. Sedangkan reseptor μ 2 memediasi efek depresan pernafasan.
Reseptor δ yang sekurangnya memiliki 2 subtipe berperan dalam
memediasi efek analgesik dan berhubungan dengan toleransi terhadap μ opioid. reseptor κ telah
diketahui dan berperan dalam efek analgesik, miosis, sedatif, dan diuresis.
Reseptor opioid ini tersebar dalam otak dan sumsum tulang belakang. Reseptor δ dan reseptor κ menunjukan selektifitas untuk ekekfalin dan dinorfin, sedangkan reseptor
μ selektif untuk opioid analgesic.
Mekanisme umumnya :
Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+
ke dalam sel, selain itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan
masuknya ion K+ ke dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion
kalsium dalam sel adalah terjadinya pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin,
dan peptida penghantar nyeri, seperti contohnya substansi P, dan mengakibatkan
transmisi rangsang nyeri terhambat.
Endorfin
bekerja dengan jalan menduduki reseptor – reseptor nyeri di susunan saraf
pusat, hingga perasaan nyeri dapat diblokir. Khasiat analgesic opioida
berdasarkan kemampuannya untuk menduduki sisa-sisa reseptor nyeri yang belum di
tempati endokfin. Tetapi bila analgetika tersebut digunakan terus menerus,
pembentukan reseptor-reseptor baru di stimulasi dan pdoduksi endorphin di ujung
saraf pusat dirintangi. Akibatnya terjadilah kebiasaan dan ketagihan.
Efek-efek yang ditimbulkan dari perangsangan reseptor opioid diantaranya:
·
Analgesik
·
Medullary effect
·
Miosis
·
Immune function and Histamine
·
Antitussive effect
·
Hypothalamic effect
·
GI effect
Efek samping
umum
Pada dosis biasa : gangguan lambung usus (mual, muntah, obstipasi), efek saraf
pusat (kegelisahan, rasa kantuk, euphoria), dan lain-lain.
Pada dosis tinggi : efek yang lebih
berbahaya seperti sulit bernafas, tekanan darah turun, sirkulasi darah terganggu,
koma, dan sampai pernafasan terhenti, Supresi susunan saraf pusat,
misalnya sedasi, menekan pernafasan dan batuk, miosis, hypothermia, dan
perubahan suasana jiwa (mood). Akibat stimulasi lagsung dari CTZ (Chemo Trigger
Zone) timbul mual dam muntah. Pada dosis lebih tinggi mengakibatkan menurunnya
aktifitas mental dan motoris.
·
Saluran cerna : motilitas berkurang (obstipasi),
kontraksi sfingter kandung empedu (kolik batu empedu).
·
Saluran urogenital : retensi urin (karena naik nonus
dari tonus dan sfingter kandung kemih), motilitas uterus berkurang (waktu
persalinan diperpanjang).
·
Saluran nafas: bronchkontriksi, penafasan menjadi
lebih dangkal dan frekuensi turun.
·
System sirkulasi : vasodilatasi, hypertensi dan
bradycardia.
·
Histamine-liberator: urticaria dan gatal-gatal, karena
menstimulasi pelepasan histamine.
·
Kebiasaan dengan resiko adiksi pada penggunaan lama.
Bila terapi dihentikan dapat terjadi gejala abstinensia.
PENGGOLONGAN
Atas dasar cara kerjanya, obat – obat ini dapat dibagi
menjadi 3 kelompok, yakni :
1. Agonis opiate, yang dapat dibagi
dalam :
Alkaloida candu : morfin, kodein, heroin, nicomorfin.
Zat-zat sintesis : metadon dan derivate-derivatnya
(dekstromoramida, propoksifen, bezitramida), petidin dan detivatnya (fentanil,
sufentanil) dan tramadol.
Cara kerja obat-obat ini sama dengan morfin hanya
berlainan dengan potensi dan lama kerjanya. Efek samping dan resiko akan
kebiasaan dengan ketergantungan fisik.
2.
Antagonis opiate : nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin, dan nalbufin.
Bila digunakan sebagai analgetika, obat ini dapat menduduki salah satu
reseptor.
3.
Kombinasi, zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opioid, tetapi tidak
mengaktifasi kerjanya dengan sempurna.
Undang –
undang narkotika. Dikebanyakan Negara,beberapa obat dari kelompok obat ini,
seperti propoksifen, pentazosin, dan tramadol, tidak termasuk dalam undang –
undang narkotika, karena bahaya kebiasaan dan adiksinya ringan sekali. Namun,
penggunaannya dalam jangka waktu lama tidak dianjurkan. Pada tahun 1978,
propeksifen di negeri Belanda dimasukkan dalam “opiumwet”.
Macam-macam obat Analgesik Opioid :
a. Morfin (F.I) : MS Contin,
kapanol.
Candu atau opium
adalah getah yang dikeringkan dan diperolah dari tumbuhan papaver somniferum
(Lat = menyebabkan tidur) morfin mengandung 2 kelompok alkaloida yang secara
kimia sangan berlainan. Kelompok fenantren meliputi morfin, kodein dan tebain.
Kelompok kedua adalah isokinolin dengan struktur kimiawi dan khasian amat
berlainan (antara lain non-narkotis), yakni papaverin, nosapin ( = narkotin),
dan narsein. Zat ini berkhasiat analgetis sangan kuat, lagi pula memiliki jenin
kerja sentral lainnya , antara lain sedative dan hipnotis, menimbukakn
euphoria, menekan pernafasan, dan menghilangkan efek batuk, yang semuanya
berdasarkan supresi susunan saraf pusat (SSP).
Morfin juga
menimbulakn efek stimulasi SSP, misalnya miosis (peciutan pupil mata), mual,
muntah-muntah, eksitasi, konvulsi. Efek perifernya yang penting adalah
obstipasi, retensi kemih, dan vasodilatasi pembuluh kulit.
Penggunaannya khusus pada nyeri kuat
kronis dan akut, seperti pasca-bedah dan setekah infark jantung, juga pada fase
terminal dari kanker. Banyak digunakan sebagai tablet retard untuk
memperpanjang kerjanya (MS Contin, kapanol).
Resorpsinya di usus baik, tetapi BA
nya hanya ca 25 % akibat FPE besar, mulai kerjanya setelah 1-2 jam dan bertahan
samai 7 jam. Resorpsi dari suppositoria umumnya sedikin lebih baik, secara
s.c./i/m baik sekali. PP nya 35% dalam hati zat ini diubah menjadi 70% dalam
bentuk glukuronida, dan hanya sebagian kecil ( 3%) dari jumlah ini terdiri dari
morfin-6-glukuronida, dengan kerja analgetis lebih kuat. Ekskresinya melalui
kemih, empedu dengan siklus enterohepatis, dan tinja.
ANTIDOTA. Pada intoksikasi digunakan
antagonis morfin sebagai antidotum, yakni nalokson
b.
Fentanil : fetanyl, durogesic, *Thalamonal.
Derivate piveridin ini (1963)
merupakan turunan dari petidin (dolnatin) yang jarang digunakan lagi karena
efek samping dan sifat adiksinya. Efek analgenis agonis opiate ini 80x lebih
kuat dari pada morfin. Mulai kerjanya cepat, yaitu 2-3 menit (i.v.), tetapi
singkat hanya ca 30 menit.
Indikasi : Medikasi praoperasi yang digunakan dalan anastesi dan infack
jangtung.
Efek sampingnya mirip morfin, termasuk defresi pernafasan,
bronchospasme, dan kekakuan otot (thorax). Zat ini jarang menimbulkan
penghambatan sirkulasi, yakni penurunan cardiack output dan bradycardia.
Dosis : pada infark i.v. 0,05 mg + 2,5 mg droperidl (thalamonal), bila
perlu diulang setelah setengah jam. Plester (durogenic) melepaskan secara
konstan morfin selama 72 jam.
Sufentanil (sufentalforte) adalah derivat (1981) dengan daya analgetis ca 10x
lebih kuat. Sifat dan efek sampingnya sama dengan fentanil. Zat ini terutama
digunakan pada waktu anestesi dan pasca bedah, juga pada waktu his dan
persalinan (dikombinasi dengan suatu anestetikum).
c. kodein (F.I.) : Metilmorfin, *Codipront
Alkaloida
candu ini memiliki khasiat yang sama dengan induknya, tetapi lebih lemah
misalnya efek analgetisnya 6-7 x kurang kuat. Efek samping dan resiko adiksinya
lebih ringan, sehingga sering digunakan sebagai obat batuk dan obat antinyeri,
yang diperkuat melalui kombinasi denagn parasetamol/asetasal. Obstipasi dan
mual dapat terjadi teruatama pada dosis lebih tinggi (diatas 3 dd 20 mg).
resorpsi oral dan rectal baik; didalam hati obat ini diubah jadi narkodein dan
morfin (10%). Ekskresinyalewat kemih debagai glukuronoda dan 10% secara utuh.
Plasma-t1 / 2-nya 3-4 jam.
B. ANALGETIKA NON NARKOTIKA
Obat-obat
ini dinamakan analgetika perifer karena tidak mempengaruhi susunan saraf
sentral, tidak menurunkan kesadaran dan tidak mengakibatkan ketagihan.
Penggunaan
Obat Analgetik Non-Narkotik atau Obat Analgesik Perifer ini cenderung mampu
menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan
saraf pusat atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat
Analgetik Non-Narkotik / Obat Analgesik Perifer ini juga tidak mengakibatkan
efek ketagihan pada pengguna (berbeda halnya dengan penggunanaan Obat
Analgetika jenis Analgetik Narkotik).
Obat-obatan
dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim siklooksigenase
(COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah
prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok
pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah
yang terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri .
Mekanismenya tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors.
Efek samping
yang paling umum dari golongan obat ini adalah gangguan lambung usus, kerusakan
darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping
biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis besar,
oleh karena itu penggunaan analgetika secara kontinu tidak dianjurkan.
·
Kerusakan
lambung usus (golongan salisilat dan p-aminofenol)
·
Kerusakan
darah seperti leukopenia, agranulositosis (golongan salisilat, p-aminofenol,
pirazolon dan antranilat)
·
Kerusakan
hati dan ginjal, khususnya derivate p-aminofenol
·
Interaksi, kebanyakan analgetik memperkuat efek
koagulasi antikoagulansia, kecuali parasetamol dan glafenin. Kedua obat ini
pada dosis biasa dapat dikombinasi dengan aman untuk waktu maksimal 2 minggu.
Analgetika
non narkotika memiliki daya kerja :
Khasiat antipiretik : menurunkan
suhu badan pada saat demam (analgetika).
Khasiat berdasarkan rangsangan
terhadap pusat pengatur kalor di hipotalamus, mengakibatkan vasodilatasi
perifer di kulit dengan berbahayanya pengeluaran kalor disertai keluarnya
banyak keringat . Misalnya: Parasetamol, Aminofenazon, dan lain-lain.
Khasiat anti flogistik : anti radang
atau anti inflamasi.
· Anti radang
sama kuat dengan analgetik : digunakan sebagai anti nyeri atau rematik.
Contoh : Asetosal, Amidopirin,
Ibuprofen, dan Asam Mefenamat.
· Anti
radangnya lebih kuat : Fenilbutazon, Nifluminat, Metiazinan, dan lain-lain.
· Bekerja
analgetik jika serentak terdapat
peradangan , antara lain Indometazin dan Benzidamin.
Macam-macam
obat Analgetika Non-Narkotika :
a. Ibuprofen
Ibuprofen merupakan
devirat asam propionat yang diperkenalkan banyak negara. Obat ini bersifat
analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya
sama dengan aspirin. Ibu hamil dan menyusui tidak di anjurkan meminum obat ini.
b.
Paracetamol : asetaminofen, panadol, Tylenol, tempra, *nipe
Derivate
asetanilida ini adalah metabolit dari fenasetin, yang dahulu banyak digunakan
sebagai analgetikum, tetapi pada tahun
1978 telah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya (nefrotoksisitas dan
karsinogen). Khasiatnya analgetis dan antipiretis, tetapi tidak antiradang.
Dewasa ini pada umumnya dianggap sebagai zat antinyeri yang paling aman, juga
untuk swamedikasi (pengobatan mandiri). Efek analgetisnya diperkuat oleh kofein
dengan kira-kira 50% dan kodein.
Resorpsinya
dari usus cepat dan praktis, secara rectal lebih lambat. PP-nya ca 25%,
plasma-t1/2-nya 1-4 jam. Antara kadar plasma dan efeknya tidak ada hubungan.
Dalam hati zat ini diuraikan menjadi metabolit-metabolit toksis yang dieksresi
dengan kemih d\sebagai konyugat-glukuroni-da dan sufat.
Efek samping
tak jarang terjadi, antara lain reaksi hypersensitivitas dan kelainan darah.
Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada
dosis diatas 6 g mengakibatkan nekrosis hati yang tidak reversible.
Hepatoksisitas ini diakibatkan oleh metabolit-metabolitnya, yang pada dosis
normal dapat ditangkal oleh glutathione (suatu tripeptida dengan –SH). Pada
dosis diatas 10 g, persediaan peptide tersebut habis dan
metabolit-metabolit mengikat pada
protein dengan –SH di sel-sel hati dan terjadilah kerusakan irreversible. Dosis
dari 20 g sudah berefek fatal, overdose bias menimbulkan antara lain : mual,
muntah dan anorexia.penanggulangannya dengan cuci lambung, juga peru diberikan
zat- zat penawar (asam amino N-asetilsistein atau metionin) sedini mungkin,
sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi.
Interaksi.
Pada dosis tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia dan pada dosis biasa
tidak interaktif. Masa paruh kloampenikol dapat sangat diperpanjang. Kombinasi
dengan oabt AIDS zidovudin meningkatkan resiko akan neutropenia.
Dosis :
untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5 -1 . maksimal 4g/hari, pada penggunaan
kronis maksimal 2,5 g/hari. Anak –anak : 4-6 dd 10 mh/hari yakni rata-rata usia
3-12 bulan 60 mg. 1-4 tahun 120-180 mg, 4-6 tahun 180 mg, 7-12 tahun 240-360
mg, 4-6 kali sehari. Rectal 20 mh / kg tiap kali, dewasa 4 dd 0,5-1 g,
anak-anak usia 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg, 1-4 tahun 2-3 dd 240 mg, 2-6 tahun 4
dd 240 mg, dan 7-12 tahun 2-3 dd 0,5 g.
c. Asam
Mefenamat
Asam
mefenamat digunakan sebagai analgesik. Asam mefenamat sangat kuat terikat pada
protein plasma, sehingga interaksi dengan obat antikoagulan harus diperhatikan.
Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia dan gejala
iritasi lain terhadap mukosa lambung.
d.
Asam asetil salisilat
Dari semua senyawa salisilat,
asetosal memiliki khasiat analgetik,
antipiretik, dan anti flogistik yang terkuat. Maka banyak digunakan dalam
segala macam preparat untuk melawan demam, influenza, sakit kepala, oto, sendi,
gigi dan lainnya, namun untuk nyeri di dalam (organ-organ) kurang efektif.
Untuk rematik, penghambat prostaglandin ini sering dianggap sebagai obat
pilihan pertama, meskipun banyak obat rematik baru telah dikeluarkan.
Efek samping yang sering terjadi
adalah iritasi mukosa lambung dengan terjadinya borok lambung dan kehilangan
darah okult (tersembunyi). Efek-efek ini lumrah sekali pada zat-zat yang
berkhasiat anti radang dan dapat dikurangi dengan penggunaan bersamaan dengan
antasida atau dengan menggunakan garam kalsium (Ascal) yang mudah larut atau
pula sebagai tablet enteric coated yang baru melarut (pecah) dalam usus.
Selain itu Asetosal memperbanyak keluarnya keringat dan pada dosis lebih
tinggi dari normal dapat mengakibatkan tinnitus (suara bergema di telinga), gangguan
pada pernafasan (hiperventilasi), juga mengigau.
· Natrium
salisilat, berkhasiat lebih lemah dari asetosal, maka dosisnya harus lebih
tinggi, efek sampingnya lebih kurang
sama dengan Asetosol, terkecuali tidak
mengurangi tergumpalnya pelat-pelat darah namun hanya pada dosis tinggi
(rematik) dapat memperpanjang waktu protrombin.
· Salisilamida,
adalah turunan salisilat, yang juga lebih lemah dari asetosal khasiat
analgetiknya, lagi pula efeknya tidak dapat di percaya. Lebih sering mengganggu
pencernaan, pendarahan okult lebih ringan. Di dinding usus mengalami FPE (First Pass Effect = pengurain) yang
besar, maka dosisnya harus tinggi. Dalam tubuh tidak dirombak menjadi
salisilat.
e.
Aminofenazon (Aminopirin)
Derivat pirazolon ini memiliki
khasiat analgetik, antipiretik dan antiflogistik yang kuat sekali dan digunakan
pada nyeri hebat (dengan radang) yang tidak dapat di kendalikan oleh
asetosal atau parasetamol. Mula kerjanya
lebih cepat dari pada salisilat. Hampir tidak digunakan sebagai obat rematik.
referensi
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi,IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja, 2007, Obat - obat Penting, PT Gramedia, Jakarta.
Dipiro, J.T., et al. 2005. Pharmacotherapy Handbook. Sixth edition. The Mc. Graw Hill Company. USA. Page : 1891-1939
Guyton, A.C.,dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC
pertanyaan :
1. apakah wanita haid aman rutin menggunakan analgetik untuk meredakan rasa nyeri, khususnya ibu profen ?
2. apa saja kriteria atau hal yang perlu diperhatikan oleh wanita hamil jika harus menggunakan analgetik baik non nakotik maupun narkotik ?
3.apa yang menyebabkan analgetik golongan narkotik tidak bisa digunakan dalam jangka panjang jika tidak dianjurkan atau diresepkan oleh dokter ?
4. jelaskan apakah ada interaksi dengan obat lain yg memiliki efek terapi berbeda jika dikonsumsi bersamaan dengan obat analgetik ?
5. dari berbagai jenis dan contoh dari obat analgetik narkotik yg manakah yg memiliki efek terapi paling kuat serta jelaskan efek sampingnya ?
6. Bagaimana mekanisme terjadinya rasa nyeri dari tempat stimulus rangsang sampai saraf pusat?
7. jelakan secara luas mengenai coctail analgetik (PCA)!
Bagaimana kontraindikasi obat necomorfin?
BalasHapusbeberapa kontraindikasinya ialah :
Hapus1. depresi pernafasan parah (tanpa peralatan resusitasi)
2. asma akut atau berat diketahui atau dicurigai ileus paralitik.
3. Injeksi intratekal dan epidural tidak boleh digunakan pada kasus pemberian yang kontraindikasi dengan rute ini, seperti infeksi pada tempat penyuntikan, perdarahan diatesis yg tidak terkontrol, penggunaan antikoagulan atau penggunaan kortikosteroid injeksi dalam 2 minggu.
Apa sajaa yg termasuk mediator nyeri?
BalasHapusTerimakasih,
HapusMediator nyeri antara lain: histamin, serotonin, plasmakinin-plasmakinin, prostaglandin-prostaglandin, ion-ion kalium.
Anto flogistik adalah ?
BalasHapusApa itu anti flogistik ?
BalasHapusObat Antiflogistik (phlogos = api, nyala) adalah obat yang dapat mencegah dan melawan terjadinya peradangan. Disebut juga obat anti inflamasi. Efek radang disebabkan karena terjadi oedeem.
HapusContoh obat anti inflamasi adalah : Prednison, Prednisolon, Hydrocortison Acetas, Triamcinolon, Dexamethason, Betamethason, Ketoprophenum, Prolase.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapussaya akan mencoba menjawab pertanyaan no. 3 analgetik narkotik dengan Penggunaan berulang dan tidak sesuai aturan dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan.
BalasHapusToleransi ialah adanya penurunan efek, sehingga untuk mendapatkan efek seperti semula perlu peningkatan dosis.
haii mbak saya akan mrncoba menjawab pertanyaan nomor 3, menurut saya jika obat narkotik digunakan dalam jangka panjang maka Dapat juga menyebabkan toleransi, kebiasaan (habituasi), ketergantungan fisik dan psikis (adiksi) dan gejala-gejala abstinensia bila diputuskan pengobatan (gejala putus obat)
BalasHapuspertanyaan no6
BalasHapusMekanisme terjadinya nyeri adalah sebagai berikut rangsangan(mekanik, termal atau Kimia) diterima oleh reseptor nyeri yang ada di hampir setiap jaringan tubuh, Rangsangan ini di ubah kedalam bentuk impuls yang di hantarkan ke pusat nyeri di korteks otak. Setelah di proses dipusat nyeri, impuls di kembalikan ke perifer dalam bentuk persepsi nyeri (rasa nyeri yang kita alami).
penggunaan obat antinyeri saat sedang haid sebenarnya tidak dianjurkan bila mengalami nyeri haid tidak tertahankan baru dianjurkan dan penggunaannya tidak melebihi 3 hari, karena efek samping yang ditimbulkan akan berefek besar bagi tubuh
BalasHapusBaiklah fio saya akan coba menjawab pertanyaan no 7.PCA merupakan analgetik yang terdiri atas ketorolac dan pethidin dimasukkan dalam larutan KaEn 3B. Dimana merupakan kombinasi analgetik untuk daerah sentral( penthidin / fenthanyl ) dan perifer( ketorolac)dan pemberiannya secara searing pump.
BalasHapusmenurut saya wanita yang sedang menstruasi bisa menggunakan obat golongan analgetik karena obat tersebut tidak mengganggu proses mentruasi
BalasHapussaya setuju dengan hesty dan golongan analgetik yang biasa diberikan adalah analgetik periver/non narkotik
Hapus"Dismenore merupakan kram menstruasi berdenyut atau kram nyeri di perut bagian bawah. Kondisi ini terjadi secara normal, karena selama menstruasi rahim berkontraksi untuk membantu meluruhkan lapisan yang akan keluar sebagai darah haid.
HapusZat yang menyerupai hormon (prostaglandin) terlibat dalam rasa sakit dan peradangan yang memicu kontraksi otot rahim. Tingginya tingkat prostaglandin berhubungan dengan kram menstruasi yang lebih berat.
Asam mefenamat merupakan kelompok anti inflamasi non steroid, bekerja dengan menghambat sintesa prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat enzim siklooksigenase, sehingga mempunyai efek analgesik, anti inflamasi dan antipiretik. Cara Kerja Asam mefenamat adalah seperti OAINS (Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid atau NSAID) lain yaitu menghambat sintesa prostaglandin dengan menghambat kerja enzim cyclooxygenase (COX-1 & COX-2)"
contoh obat yang dapat digunakan seperti ibuprofen.
BalasHapusungsi ibuprofen pada obat menstruasi yang utama memang mengurangi rasa sakit pada tubuh. Selain itu, ibuprofen yang tergolong dalam jenis NSAID (non steroidal anti Inflammatory drugs) ini, bekerja dengan cara yang berbeda dengan obat analgesik lainnya, seperti paracetamol.
Ketika kita merasakan sakit, nyeri, atau mengalami peradangan, maka tubuh akan secara alami menghasilkan zat kimiawi yang disebut dengan prostaglandin. Sementara, ibuprofen mempunyai kemampuan untuk menghentikan prostaglandin dihasilkan oleh tubuh, sehingga rasa nyeri pada saat menstruasi pun hilang.
BalasHapussebaiknya untuk ibu hamil untuk meghindari penggunaan obat namun jika mmang tidak dapat dihindari penggunaannya sebaiknya digunakan analgeti non narkotik dengan ES paling rendah atau aman terhadap ibu hamil sperti paracetamol
BalasHapus